PARADOKS TEKNOLOGI BELAJAR
Oleh : IWAN PRANOTO
(Guru Besar Matematika ITB)
Bagi sekolah di kota besar yang sudah berfasilitas
baik dan dilayani guru bermutu, penyediaan teknologi belajar bagi para murid
adalah suatu kemewahan.
Teknologi untuk belajar di sekolah yang sudah
baik merupakan unsur pelengkap atau penghias semata, bukan kebutuhan. Jika tak
tersedia teknologi belajar pun, para siswa tetap akan dapat belajar bersama
guru.
Namun, sebaliknya, bagi sekolah-apalagi masyarakat
tanpa sekolah-di pedalaman dan tanpa fasilitas, mungkin pula tak memiliki guru
memadai, teknologi belajar merupakan kebutuhan. Teknologi belajar bagi
anak-anak di daerah terpencil merupakan keharusan. Pada dekade kedua abad ke-21
ini, teknologi juga mungkin satu-satunya peluang bagi anak-anak di pelosok
untuk belajar dengan mutu tak kalah dari temannya di perkotaan.
Inilah paradoks dalam teknologi belajar. Di perkotaan
dengan fasilitas pendidikan baik, teknologi belajar suatu kemewahan; di
pedalaman, teknologi belajar justru kebutuhan.
ANAK
Saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan
mengutarakan gagasan pemanfaatan tablet atau sabak elektronik (sabak-el)
sebagai media belajar, beberapa pihak meragukan.
Umumnya keraguan bersumber pada fakta infrastruktur
yang belum memadai, seperti jaringan listrik dan internet. Juga ada suara yang
takut anak akan memanfaatkannya guna mengakses informasi tak pantas. Malah ada
yang berkata bahwa pemberian sabak sebagai ganti buku ajar untuk saat ini belum
mendesak, bahkan akan membuat perbandingan pendidikan di kota besar dengan di
pelosok-pelosok semakin tidak seimbang.
Semua ramalan serta komentar bernada tak positif
tersebut sahih. Hanya para pengkritik itu keliru membayangkan sabak-el ini
untuk diterapkan di perkotaan atau malah di seluruh Indonesia, secara nasional.
Saat ini masih banyak daerah terpencil, sulit
dijangkau, terjebak konflik, atau terkena bencana. Akibatnya, anak-anak di
daerah seperti ini mau tak mau harus menelan layanan pendidikan ala kadarnya.
Kerap terjadi, hanya ada satu guru di satu-satunya
sekolah di desa terdekat. Guru seorang itu harus mengampu semua mata pelajaran,
mulai dari Agama, Bahasa Indonesia, Kimia, Matematika, sampai Olahraga. Di
beberapa daerah lain, ada prajurit TNI yang berinisiatif mengajar anak- anak di
sana.
Banyak daerah terpinggirkan itu harus dicapai dengan
berjalan kaki menembus hutan satu atau dua malam. Ada pula yang harus dicapai
dengan kapal yang tak selalu tersedia. Ada pula yang harus dicapai dengan
pesawat terbang perintis. Inilah keadaan geografis Indonesia yang harus
dipahami oleh penentu kebijakan dan politisi dalam bidang kebijakan pendidikan.
Dengan keadaan penuh kendala seperti itu, bagaimana
menyediakan pendidikan bermutu?
Menyediakan guru cakap dan bergairah mengajar di
daerah terpencil tentu harus dilanjutkan dan digelorakan. Namun, berapa banyak
guru hebat seperti itu yang sanggup disediakan dalam waktu satu-dua tahun ke
depan? Lalu, dalam dua tahun itu, apakah anak-anak yang terpinggirkan dan
terabaikan ini akan dibiarkan juga tak memperoleh kesempatan belajar?
Sungguh tak pantas sebenarnya pada abad ke-21 ini
masih ada anak-anak kita yang belum memperoleh pendidikan wajar. Padahal,
teman-temannya di Jakarta dan bahkan di Palu, Sulawesi Tengah, bersekolah
dengan guru lengkap bahkan berpendidikan magister.
Karena itu, gagasan penggunaan sabak atau teknologi
lainnya merupakan usulan yang layak dipikirkan. Terlebih lagi kemungkinan
teknologi belajar merupakan pintu peluang terbesar negara menyediakan kesempatan
belajar bermutu bagi anak-anak.
Benar bahwa di daerah terpencil belum ada
infrastruktur yang memadai. Justru itu menandakan, ini saat yang tepat untuk
merancangnya dengan biaya sehemat mungkin. Ini investasi pendidikan untuk 10-20
tahun ke depan. Ini saatnya rekayasawan kita merekacipta sumber daya listrik
alternatif murah yang memungkinkan mengisi sumber daya sabak-el.
Surya, angin, bahkan sumber daya listrik kinetik
putaran tuas tangan anak sendiri merupakan sumber daya alternatif. Beberapa
desain sudah mampu mengubah putaran tuas oleh anak dalam 3 menit cukup guna
mengaktifkan laptop 1 jam.
Tak ada jaringan internet juga bukan masalah karena
sabak-el dapat dimanfaatkan dengan modus luar jaringan (luring). Dengan
mempersiapkan bahan ajar dalam kartu memori, sabak-el dapat berfungsi sebagai
sumber bahan ajar dan dapat diperbarui datanya dengan mudah secara berkala,
yakni dengan mengirimkan kartu memori kecil itu. Ini jauh lebih mungkin dan
hemat ketimbang mengirim buku ajar.
Keuntungan lain dari penggunaan sabak-el ini ialah
peluang melokalkan pembelajaran IPA, IPS, Matematika, dan sebagainya, seperti
ke dalam bahasa ibu. Dengan pendekatan buku ajar tradisional, tentunya hal ini
rumit dan mahal, tetapi justru menjadi mungkin diwujudkan dengan teknologi.
GURU
Jika guru di sekolah terpencil mengikuti program
pelatihan di kota terdekat, guru akan meninggalkan sekolah dan muridnya akan
terganggu. Belum lagi isi pelatihan guru saat ini kerap belum ke konsep
mendalam karena jumlah dan kapasitas widyaiswara masih kurang.
Akan tetapi, dengan sabak-el, guru dapat langsung
belajar dan mempraktikkan cara membelajarkan satu topik tertentu pada waktu
yang singkat, tanpa perlu meninggalkan sekolahnya. Jika harus membelajarkan
perkalian bilangan bulat hari Senin, misalnya, pada hari Minggu guru dapat
langsung menyimak klip video lima menitan bagaimana mengajarkannya. Ini hemat
dan akan tepat sasaran.
Seperti juga bagi murid, bagi guru di daerah
terpencil, teknologi belajar juga kebutuhan. Program sabak-el ini layak untuk
dikaji lebih rinci. Kemudian, jika dianggap layak, perlu diujicobakan dalam
skala kecil dahulu untuk lokasi tertentu dan satu atau dua mata pelajaran saja.
Uji coba untuk pulau yang terpencil, misalnya.
Ada yang skeptis bahwa program ini akan dikorupsi.
Tentu ada kemungkinan itu. Bukankah buku ajar tradisional atau fasilitas
pendidikan juga diselewengkan? Kurang bijak jika kesempatan belajar anak-anak
terpinggirkan ini dipupuskan hanya karena kecurigaan akan ada orang jahat yang tega
memalak dananya. ***
Sumber: http://print.kompas.com/
Sumber: http://print.kompas.com/
===============================================================================
TANTANGAN PENERAPAN KURIKULUM 2013
BAGI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Oleh :
Drs. Asep Zuhara Argawinata, M.I.Kom
Widyaiswara LPMP Jabar
Drs. Asep Zuhara Argawinata, M.I.Kom
Widyaiswara LPMP Jabar
Pendidikan merupakan unsur utama dalam
pengembangan manusia Indonesia seuutuhnya, maka pengelolan pendidikan
harus berorientasi kepada bagaimana menciptakan perubahan yang lebih
baik. Salah satu upaya itu di tempuh dengan menerapkan kurikulum 2013
yang disusun dengan dilandasi pemikiran tantangan masa depan yaitu
tantangan abad ke 21 yang ditandai dengan abad ilmu pengetahuan, knowlwdge-based society
dan kompetensi masa depan. Bagi pendidik dan tenaga kependidikan
khususnya para guru yang akan melaksanakan kurikulum tersebut pada tahun
ajaran 2013/2014 yaitu guru SD kelas I dan IV, SMP kelas VII, dan
SMA/SMK kelas X merupakan tantangan yang harus disikapi dengan semangat
yang berorientasi pada perubahan secara totalitas khususnya perubahan
pada dimensi kompetensi guru yang meliputi dimensi kompetensi
profesional, pedagogik, kepribadian dan sosial.
Kurikulum
2013 adalah kurikulum yang diharapkan dapat menghasilkan insan
Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan
dari KBK 2004 dan KTSP 2006 yang mempertimbangkan penataan pola pikir
dan tata kelola, pendalaman dan perluasan materi, serta penguatan proses
dan penyesuaian beban.
Perubahan Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013 pada dasarnya adalah perubahan pola pikir (mindset),
dapat dikatakan merupakan perubahan budaya mengajar dari para guru
dalam melaksanakan pendidikan di sekolah. Dengan demikian, untuk
mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 sesuai dengan rancangan yang
diinginkan.
Secara
normatif-konstitusional, pengembangan secara utuh kurikulum 2013
berlandaskan pada ketentuan perundangan-undang berikut :
- Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional;
- Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang perencanaan nasional tahun 2005-2025;
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen;
- Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru;
- Peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005;
- Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013 tentang standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah;
- Peraturan meneteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah;
- Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013 tentang standar nilai pendidikan;
- Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2013 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
- Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2013 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menegah pertam/Madrasah Tsanawiyah;
- Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 tentang kerangka dasar struktur kurikulum sekolah menengah atas/Madrasah Aliyah;
- Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2013 tentang kerangka dasar struktur kurikulum sekolah menengah kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan;
- Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 tentang buku teks pelajaran dan buku panduan guru untuk pendidikan dasar dan menegah; Peraturan menteri pendidikan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 tentang implementasi kurikulum
Guna
menjamin terlaksananya implementasi kurikulum 2013 secara efektif
efisien disekolah, para pendidik dan tenaga kependidikan perlu pemahaman
yang sama dalam menerapkan Kurikulum 2013, upaya untuk meningkatkan
pemahaman yang sama tersebut dalam implementasi kurikulum 2013, setiap stakeholder
serta instansi terkait di Indonesia umumnya dan di setiap propinsi
khususnya, termasuk di dalam nya UPT pusat dalam hal ini Kementerian
pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Propinsi dan dinas kota/kabupaten
di setiap wilayah Indonesia perlu memberikan dukungan (supporting system) dengan :
- Pemberian fasilitasi dalam implementasi kurikulum 2013 pada satuan pendidikan;
- Pemberian bantuan kunsultasi, pemodelan (modeling), dan pelatihan personal dan spesifik (coaching) untuk hal spesifik dalam implementasi kurikulum 2013 secara tatap muka dan online;
- Pemberian solusi kontekstual dalam menyelesaikan pemasalahan yang dihadapi saat implementasi kurikulum 2013 disekolah masing-masing
- Penciptaan budaya mutu sekolah melalui penerapan kurikulum secara inovatif, kontekstual, dan berkelanjutan.
Dengan
upaya yang dilakukan tersebut diharapkan Pendidik dan tenaga
kependidikan secara keseluruhan dapat memahami Kebijakan Pemerintah dan
mampu memecahkan masalah implementasi Kurikulum 2013, serta menguasai
prinsip, program, strategi dan mekanisme implementasi Kurikulum 2013
serta mampu merefleksi dan memperbaiki pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar di kelas.
Salah satu hal pokok dalam penerapan Kurikulum 2013 adalah bagaimana guru mampu menerapkan model dengan pendekatan saintifik (scientific approach) dan pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student center) serta menekankan pada pembelajaran siswa aktif dengan di terapkannya model Pembelajaran penemuan (Discovery Learning), Pembelajaran berbasis proyek (Project base learning) serta pembelajaran berbasis Pemecahan masalah (Problem base learning).
Kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa yang sebenarnya
sudah dikenal sejak akhir 1980-an dulu dikenal dengan istilah Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA). Dan sampai kini, model serta pendekatan CBSA
sebenarnya masih menjadi perhatian utama. Tapi sampai di mana praktik
itu mencapai tujuan hakikinya?. Siswa aktif itu seperti apa? Bagaimana
siswanya mau aktif, kalau gurunya belum mempunyai motivasi diri untuk
merubah Kegiatan Belajar Mengajar yang mengarah pada pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam kegiatan belajar secara totalitas dan hal ini
merupakan tantangan tersendiri bagi pendidik dan tenaga kependidikan
khususnya guru. Adengan demikan guru harus mempunyai komitmen dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya untuk benar-benar mengembangkan
aspek empat dimensi kompetensi guru yaitu kompetensi Profesional,
pedagogic , kepribadian dan sosial. Dari kondisi tersebut saat ini yang
diperlukan adalah optimalisasi peran guru, selain itu juga partisipasi
dan keterlibatan semua komponen masyarakat.
Dunia
pendidikan harus fokus mengerahkan sumber daya kependidikan untuk
melaksanakan implementasi kurikulum 2013 ini. Segala sumber daya harus
dikelola sesuai kaidah-kaidah pedagogik dan ilmiah. Guru harus mengikuti
perubahan dengan mengubah pola pikir terbuka terhadap perubahan saat
ini. Guru wajib mengikuti atau disertakan dalam program pelatihan dan
pengembangan profesi yang bersifat periodik. Guru dan tenaga
kependidikan hendaknya dapat mengikuti pelatihan-pelatihan,
seminar-seminar, maupun kunjungan studi. Guru secara pribadi, dan
sekolah secara kelembagaan, harus mencari solusi dan langkah-langkah
strategis agar guru dapat mengikuti berbagai program peningkatan
pengetahuan dan keterampilan guna menunjang pembelajaran. Guru secara
pribadi juga harus mempunyai motivasi berprestasi untuk mengembangkan
potensi dirinya.
Tantangan
lainnya dapal pelaksanaan Kurikulun 2013 bahwa guru juga perlu menambah
durasi membaca buku atau hasil-hasil penelitian tentang pembelajaran
dan pendidikan atau mengkaji penelitian tindakan kelas (Classroom action research).
Kurikulum
baru akan diimplementasikan, mulai tahun pelajaran 2013/2014 dan
implemenrtasinya akan dilakukan secara bertahap untuk kelas-kelas awal.
Dan khusus di tingkat SD, termasuk kelas IV. Ini untuk menyesuaikan
dengan kondisi
Pembelajaran siswa.
Implementasi
Pelaksanaan
Kurikulum 2013 merupakan Tantangan dan bagian dari upaya perbaikan
kondisi pendidikan di Indonesia, dan kurikulum 2013 ini di harapkan akan
mampu menjadi pedoman pendidikan di tanah air. Saat ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sudah melakukan berbagai sosialisasi. Berbagai
persiapan, seperti penyiapan pelatihan guru, buku pegangan guru, buku
paket untuk siswa , dan sebagainya.
Disadari
bahwa guru merupakan kunci utama keberhasilan proses pembelajaran di
sekolah. Oleh karena itu, harapan keberhasilan pendidikan sering
dibebankan pada guru. Salah satu hal mendasar yang penting disikapi oleh
guru adalah kesiapan mental terhadap perubahan yang terjadi saat ini.
Guru tidak boleh terjebak dalam rutinitas dan formalitas. Masih banyak
guru yang enggan mengupdate informasi atau meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan terkait profesi. Di lapangan masih banyak
guru yang belum selesai dengan urusannya sendiri. Masih sibuk untuk
hal-hal yang di luar konteks menciptakan pembelajaran yang efektif.
Globalisasi
telah menembus batas-batas ruang dan waktu. Dinamika yang demikian
cepat di bidang teknologi dan informasi, menuntut tindakan antisipasi
dan adaptasi yang cepat. Perkembangan sosial budaya, pengetahuan,
teknologi, telah membawa kehidupan siswa pada suatu tahapan kehidupan
yang lebih cepat dari usianya.
Substansi
suatu kurikulum adalah program pendidikan yang bertujuan membentuk
siswa berkarakter, bertanggung jawab, pantang menyerah, dan tertanam
jiwa nasionalisme.
Penerapan
kurikulum 2013 menjadi tantangan sekaligus peluang bagi guru untuk
mewujudkan cita-cita pendidikan. Tenaga pendidikan dan kependidikan
ditantang untuk menjembatani kondisi ideal dan kondisi nyata dunia
pendidikan.
Rencana
perubahan kurikulum nasional yang akan dimulai tahun 2013 ini menjadi
pembicaraan hangat di kalangan praktisi pendidikan. Pro dan kontra
menghinggap di sistem Kurikulum 2013, bahkan perubahan kurikulum ini pun
diragukan dapat mengubah kondisi pendidikan yang ada di Indonesia saat
ini. Meski terus ditolak mentah-mentah, pemerintah nampaknya maju terus.
Masyarakat memandang kurikulum belum membawa perubahan besar terhadap
peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku serta keterampilan dan
kreativitas anak sekolah.
Dimulai
dengan diadakannya uji publik dan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan
lembaga pendidikan lain di seluruh Indonesia. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) percaya diri sistem tersebut akan berhasil.
Tujuan dari dirombaknya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
menjadi Kurikulum 2013 ini sebenarnya cukup baik yaitu untuk
membangkitkan kemampuan nalar dan kreativitas anak didik secara merata
karena di dalam content Kurikulum 2013 stressing nya lebih banyak kepada
penggalian kompetensi siswa secara akademik (Hard skill) dan
pengembangan nilai nilai sikap, serta penggalian potensi keterampilan.
Tekanan pokok dalam kurikulum baru ini adalah model pembelajaran tematik
dan penguatan pada pembangunan karakter. Pendidikan tematik dan
karakter ini akan banyak difokuskan pada pendidikan dasar (SD). Pada
akhirnya, untuk pendidikan SD, ada pemadatan mata pelajaran. Mata
pelajaran IPA dan IPS akan teringtegrasi dengan mata pelajaran lain
berdasarkan tematiknya. Contohnya pengetahuan soal air pada IPA akan
diintegralkan dengan tema pembahasan air pada mata pelajaran PKn, Bahasa
Indonesia maupun agama. Integrasi mata pelajaran dan pendidikan
karakter yang ditawarkan dalam kurikulum 2013 sebenarnya bukan hal yang
baru. Pengintegrasian beberapa mata pelajaran telah dilaksanakan
meskipun tidak tersusun secara sistematis dan mungkin tidak semua
sekolah melaksanakannya.
Pendidikan
karakter bahkan bukan merupakan wacana baru dalam sistem pendidikan,
karena esensi pendidikan salah satunya adalah untuk membentuk karakter
bangsa. Meskipun demikian, pembelajaran tematik dan karakter ini lebih
sering berhenti dalam tataran wacana dan konsep saja. Di tataran praktek
konsep tersebut berbanding terbalik. Selama ini, fokus kurikulum masih
pada aspek kognitif, sementara aspek afektif tidak terlalu diperhatikan.
Setidaknya ada dua faktor besar sebagai penentu keberhasilan Kurikulum
2013 ini. Faktor pertama adalah adanya kesesuaian kompetensi pendidik
dan tenaga kependidikan (PTK) dengan kurikulum dan buku teks. Faktor ini
sangat penting karena pendidik harus tahu benar apa dan bagaimana yang
akan diajarkan kepada para siswa. Kedua, faktor pendukung yang terdiri
dari tiga unsur, yakni ketersediaan buku sebagai bahan ajar dan sumber
belajar yang mengintegrasikan standar pembentuk kurikulum, peran
pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan, serta penguatan manajemen dan
budaya sekolah.
Banyak hal yang menjadi kendala yang menjadi
bagian dari penerapan Kurikulum 2013 misalnya penghapusan mata pelajaran
Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) dan pengurangan jam pelajaran
bahasa Inggris menimbulkan aksi reaksioner di kalangan guru yang
bersangkutan. Tidak salah jika sikap demikian muncul, karena di era
globalisasi dan teknologi yang tidak terbatas ini dua mata pelajaran
tersebut dipangkas bahkan dihilangkan. Pemerintah berdalih bahwa tidak
ada penghapusan mata pelajaran namun “diintegrasikan” dengan mata
pelajaran lain. Pihak kemendikbud juga memiliki asumsi bahwa teknologi
khususnya komputer bisa dipelajari dimana saja. Memang benar komputer
bisa dipelajari tanpa harus masuk dalam kurikulum, namun tanpa arahan
yang baik dari guru, dikhawatirkan efek negatif akan lebih besar
daripada positifnya.
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan ditangani langsung oleh
pemerintah di satu sisi meringankan kinerja guru. Guru akan lebih fokus
dalam mengajar tanpa disibukkan oleh beban membuat RPP yang banyak
menyita waktu. Sisi negatifnya dan ini mungkin yang akan terjadi nanti,
guru hanya akan menjadi pelaksana dari pemerintah dan mengurangi
kreativitas guru dalam mengembangkan pelajaran sesuai dengan kondisi
anak di kelas. Guru merupakan orang yang terlibat dan mengerti langsung
bagaimana kondisi anak didik mereka, sementara pemerintah tidak terjun
langsung di lapangan. Dengan demikian pemangku kepentingan dalam
pelaksanaan kurikulum 2013 harus lebih cermat dalam menyusun perangkat
mengajar bagi sekolah. Akan lebih baik jika perangkat mengajar yang
diterbitkan oleh pemerintah nantinya memberikan keleluasaan kepada guru
untuk mengembangkan sesuai dengan kondisi di lapangan.
Guru
merupakan ujung tombak penerapan kurikulum. Guru diharapkan bisa
menyiapkan dan membuka diri terhadap beberapa kemungkinan terjadinya
perubahan. Kesiapan guru pun lebih penting daripada pengembangan
Kurikulum 2013. Pada diri guru, sedikitnya ada empat aspek yang harus
diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan
Kurikulum 2013, yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi akademik
(keilmuan), kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian.
Guru
yang kurang mengembangkan diri atau tidak berkualitas dianggap sulit
bisa melahirkan lulusan yang kompeten. Apalagi, keberadaan guru tidak
bisa digantikan oleh faktor lain sehingga untuk meningkatkan mutu
pendidikan, upaya-upaya peningkatan kualitas guru harus selalu dilakukan
secara terus menerus tanpa henti.
Posisi
guru yang sedemikian strategis itu, maka di akhir-akhir ini, mereka
mendapatkan perhatian serius. Sebagai bagian peningkatan kualitas itu,
guru disertifikasi. Guru profesional harus bersertifikat, itulah
tekadnya. Atas dasar sertifikasi itu, mereka berhak diberi tunjangan
profesional. Tunjangan dimaksud juga sudah diberikan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, keluhan bahwa guru berpendapatan rendah sudah tidak
terdengar lagi. Kenyataan itu menunjukkan bahwa sertifikasi dan juga
peningkatan kesejahteraan guru lewat tunjangan profesi tidak serta merta
berhasil meningkatkan kompetensi guru. Untuk meningkatkan kualitas
pendidikan selalu tidak sederhana. Selain itu untuk menentukan kualitas
guru juga tidak semudah yang dibayangkan. Bekal guru tidak saja berupa
pengetahuan dan ketrampilan mengajar, melainkan juga ada faktor lain
seperti etos, integritas, tanggung jawab dan kecintaan terhadap profesi.
Dalam
usaha peningkatan kualitas pendidikan disadari satu kebenaran
fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan mempersiapkan dan
menciptakan guru-guru yang profesional, yang memiliki kekuatan dan
tanggung jawab yang baru untuk merencanakan pendidikan di masa depan.
Bangsa
dan negara akan dapat memasuki era globalisasi dengan tegar apabila
memiliki pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan, terutama
ditentukan oleh proses belajar mengajar yang berlangsung di ruang-ruang
kelas. Dalam proses belajar mengajar tersebut guru memegang peran yang
penting. Guru adalah kreator proses belajar mengajar. Dia adalah orang
yang bisa mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang
menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam
batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Guru akan
berperan sebagai model bagi anak didik. Kebesaran jiwa, wawasan dan
pengetahuan guru atas perkembangan masyarakatnya akan mengantarkan para
siswa untuk dapat berpikir melewati batas-batas kekinian, berpikir untuk
menciptakan masa depan yang lebih baik.
Tugas
utama guru adalah mengembangkan potensi siswa secara maksimal lewat
penyajian mata pelajaran. Setiap mata pelajaran, dibalik materi yang
dapat disajikan secara jelas, memiliki nilai dan karakteristik tertentu
yang mendasari materi itu sendiri. Oleh karena itu, pada hakekatnya
setiap guru dalam menyampaikan suatu mata pelajaran harus menyadari
sepenuhnya bahwa seiring menyampaikan materi pelajaran, ia harus pula
mengembangkan watak dan sifat yang mendasari dalam mata pelajaran itu
sendiri.
Materi
pelajaran dan aplikasi nitai-nilai terkandung dalam mata pelajaran
tersebut senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan
masyarakatnya. Agar guru senantiasa dapat menyesuaikan dan mengarahkan
perkembangan, maka guru harus memperbaharui dan meningkatkan ilmu
pengetahuan yang dipelajari secara terus menerus. Dengan kata lain,
diperlukan adanya pembinaan yang sistematis dan terencana bagi para
guru.
Peningkatan
keterampilan, pengetahuan dan perubahan sikap secara holistik dari
peserta didik diharapkan akan muncul dengan sistem kurikulum baru ini.
Semua harapan tersebut tidak akan tercapai jika semua elemen pendidikan
tidak bekerja secara maksimal. Terlepas dari pro-kontra dan kekurangan
yang ada, kita semua berharap agar kurikulum 2013 bisa memberikan
harapan baru yang lebih baik bagi dunia pendidikan Indonesia.
Keseriusan
Pemerintah terlihat dalam menyiapkan dan mematangkan konsep kurikulum,
mengembangkan silabus, menyiapkan (menulis dan mencetak) dan
mendistribusikan buku teks atau bahan ajar baik berkenaan dengan buku
peserta didik maupun buku pegangan guru, menyiapkan nara sumber untuk
semua level, dan menentukan jumlah, memilih dan menatar guru, kepala
sekolah dan pengawas. Di samping itu upaya penting yang dilakukan oleh
pemerintah, yaitu membangun dan menjaga jaringan dan kerja sama yang
sinergis dengan semua stakeholder, terutama dinas pendidikan,
Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan (LPTK), dan organisasi profesi,
serta yayasan penyelenggara pendidikan, sehingga dapat memperlancar
proses implementasi kurikulum.
Untuk
menuntaskan implementasi kurikulum 2013, pemerintah terus berkewajiban
mengawal implementasi kurikulum secara tuntas, melanjutkan penulisan,
pengadaan dan pendistribusian buku kelas atasnya, dengan dukungan
pemerintah daerah dan masyarakat, di samping melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan kurikulum 2013 di lapangan dan selalu terbuka
terhadap feedback dari semua kalangan.
Pengembang
kurikulum harus mengawal penulisan buku teks dan buku penunjang, serta
sub sistem pendidikan dan pembelajaran lainnya. Pengembang kurikulum
2013 bertanggung jawab pula untuk mendeseminasikan kurikulum di sekolah,
sehingga terbangun common vision. Dengan begitu diharapkan
kita bisa terhindar dari distorsi dan pembiasan implementasi kurikulum,
sehingga pelaksanan praktek pendidikan dan pembelajaran di kelas tetap
terkendali. Dalam posisi ini pengembang kurikulum memainkan peran
sebagai pengarah dan mediator implementasi kurikulum, di samping
pengembang kurikulum yang mengetahui hakikat pelaksanaan kurikulum 2013.
Guru pada hakekatnya memiliki peran yang sangat strategis dalam
mengawal implementasi kurikulum di lapangan. Berdasarkan hasil banyak
penelitian, guru memiliki sumbangan yang terbesar secara signifikan
dalam implementasi kurikulum. Hal ini dibuktikan bahwa selama ini
dokumen kurikulum secara nasional sama, namun pada prakteknya ada
sekolah yang masuk katagori unggul, rata-rata, dan rendah. Diferensiasi
katagori ini sangat diyakini berkaitan erat dengan kualitas kinerja guru
dan kepemimpinan kepala sekolah.
Menyadari
akan pentingnya posisi guru dan kepala sekolah, maka kerapihan
diseminasi kurikulum terhadap guru dan kepala sekolah perlu diupayakan
secara optimal. Untuk menjamin guru tetap terjaga komitmennya dalam
memainkan perannya sebagai pengembang kurikulum di kelas (curriculum developer in the classroom),
kiranya guru perlu dilindungi keamanannya untuk dapat memberikan
keteladanan akhlaq yang mulia dan budi pekerti, menciptakan inovasi dan
mengembangkan kreativitasnya, di samping diberikan insentif yang
memadai. Demikian pula untuk menjamin kepala sekolah dapat menegakkan
kepemimpinan akademiknya, perlu dilindungi posisinya, sehingga mereka
memiliki keberanian membuat keputusan yang visioner.
Kompleksitas
persoalan pendidikan, terutama kurikulum untuk pendidikan dasar dan
menengah yang tidak pernah berakhir, bahkan disinyalir akan semakin
menantang di kemudian hari. Untuk itu pelaksanaan implementasi Kurikulum
2013 menjadi tantangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan, dan pada
pelaksanaannya harus di sesuaikan dengan rambu-rambu pelaksanaan nya
karena akan berdampak terhadap kualitas lulusan. Dengan demikain
Tantangan tantangan pada pelaksanaan implementasi Kurikulum 2013 dapat
diatasi guna menghasilkan lulusan atau generasi penerus Indonesia yang
lebih baik.
Referensi:
http://ngudalpiwulang.blogspot.com/2013/07/antara-harapan-dan-kenyataan....
http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/artikel-kurikulum2013-oleh-rektor-uny
Kompas.com
Tribunnews.com
Republika.com
===============================================================================
KONTROVERSI PENDIDIK
DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Oleh Chakim Musthofa
Profesi pendidik – khususnya guru dan dosen – menjadi sorotan menyongsong sertifikasi. Sertifikasi merupakan keharusan bagi pendidik untuk mengetahui kecakapan, tingkat mutu dan profesionalitas sehingga akan dihasilkan pendidik yang berkualitas. Dan pendidik yang berkualitas merupakan salah satu indikator dalam penjaminan mutu pendidikan.
Pendidik ibarat sopir yang bertugas mengangkut dan mengantar penumpang sampai kepada tujuan yang diharapkan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai seorang sopir sudah sewajarnya membutuhkan SIM (Surat Ijin Mengemudi) yang merupakan syarat wajib profesi ini.
Para penumpang tentu akan merasa tenang dan nyaman jika sopir telah memenuhi segala persyaratan yang telah diujikan. Tetapi sebaliknya jika sopir belum dan/ atau tidak mempunyai SIM apalagi sama sekali tidak lihai mengemudi maka penumpangnya akan cemas dan bingung akan diapakan dan dikemanakan.
Di masa mendatang pendidik diwajibkan mempunyai ”SIM” (Surat Ijin Mengajar) yang hanya dapat dimiliki setelah lulus sertifikasi. Diharapkan dengan sertifikasi pendidik mampu mengantarkan penumpang sampai kepada tujuan dengan selamat dan memuaskan.
Peran tenaga kependidikan
Jika pendidik yang diibaratkan sebagai sopir yang telah mempunyai keahlian menyetir lantas apakah kemudian perjalanan (pendidikan) akan begitu saja terjamin keselamatannya? Ternyata tidak. Setidaknya kita harus memperhatikan kondisi mobil juga. Mulai dari hidup-tidaknya lampu sorot, berfungsi-tidaknya rem, bagus-tidaknya kondisi ban dan yang paling penting ketersediaan bahan bakar dan keadaan olinya.
Semua kelengkapan mobil itu yang selanjutnya dianalogikan sebagai tenaga kependidikan. Sopir dan kelengkapan mobil menjadi satu jiwa utuh dalam membawa penumpangnya menjadi lebih aman dan terjamin. Tenaga kependidikan sebagai penunjang inilah yang perlu menjadi perhatian sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 1 bahwa (peran) tenaga kependidikan adalah penunjang penyelenggaraan pendidikan.
Adilkah jika selama ini penilaian keberhasian pendidikan hanya diukur dari faktor pendidik (guru dan dosen) saja? Menurut hemat penulis, penilaian kesuksesan pendidikan seharusnya dilihat dari berbagai sudut pandang. Mulai dari pengaturan jadwal pembelajaran yang teratur, kelengkapan sarana-prasarana sekolah yang memadai dan memenuhi standar, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekolah yang selalu terjaga, manajemen sekolah yang tegas serta supervisi yang ketat. Semua faktor itu adalah peran strategis tenaga kependidikan, apakah itu staf TU, pustakawan, laboran, pesuruh/ penjaga sekolah, pengawas sekolah dan kepala sekolah.
Tetapi sayangnya saat ini tenaga kependidikan belum diperhatikan sebagaimana pendidik. Suatu keprihatinan jika keduanya yang merupakan tenaga profesional dan juga berperan dalam peningkatan mutu pendidikan tidak disamakan. Pendidik – khususnya guru dan dosen – terkesan superior dan ”dimanjakan” dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sedangkan tenaga kependidikan sampai saat ini pun belum mempunyai payung hukum yang menangani dan mengatur mereka secara jelas.
Disadari peningkatan mutu pendidikan masih memprioritaskan guru dan dosen sebagai kemudi pendidikan. Bisa jadi pemerintah masih menganggap peran pendidik yang dominan sebagai ujung tombak pendidikan. Tetapi apakah hanya dengan mengandalkan guru dan dosen saja pendidikan akan segera bermutu? Ibarat kesatuan sopir dan kelengkapan mobil tadi. Jika sopirnya lihai tetapi remnya blong, maka keselamatan tidak akan terjamin. Kalaupun sopirnya lihai tetapi lampu sorotnya mati, maka tidak akan bisa berjalan dengan tenang di malam hari.
Peningkatan mutu pendidikan seharusnya tidak boleh ”menganak-emaskan” salah satu profesi. Karena profesi yang lain juga mempunyai peran untuk ikut andil menuju terciptanya pendidikan yang bermutu. Dan sampai saat ini peran kedua profesi tersebut masih menjadi kontroversi.
Faktor materi
Undang-Undang tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 1 dengan jelas menyebutkan bahwa keduanya (pendidik dan tenaga kependidikan) berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Tetapi dilihat secara materi, kelak pendidik (guru dan dosen) mempunyai gaji 2 kali dan/ atau bahkan 3 kali lebih besar dari gaji tenaga kependidikan. Demikian setidaknya amanat UU tentang guru dan dosen. Sedangkan gaji tenaga kependidikan berkutat pada nominal tunjangan yang kurang sebanding bila dibandingkan dengan tunjangan pendidik.
Faktor penghargaan secara materi inilah yang akhirnya mempengaruhi barometer kinerja tenaga kependidikan menjadi kurang bergairah. Tanpa adanya perhatian, perbaikan dan penghargaan dikhawatirkan akan muncul ketidakprofesionalan tenaga kependidikan. Hal ini diperparah oleh standar profesi dan kesejahteraan tenaga kependidikan yang selama ini hanya diatur dalam regulasi internal lembaga teknis yang menaunginya. (Kompas, 28 September 2006).
Setengah hati
Pemerintah rupanya masih setengah hati melihat peran tenaga kependidikan. Kondisi ini dapat dilihat dari Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 087/ U/ 2002 tentang Akreditasi Sekolah yang perlu ditindaklanjuti secara seksama. Dalam pasal 6 kepmen tersebut menyebutkan bahwa persyaratan sekolah yang diakreditasi harus memiliki sarana dan prasarana pendidikan (ayat c) dan tenaga kependidikan (ayat d).
Tetapi anehnya syarat itu hanya menjadi lelucon saja. Banyak sekolah yang memposisikan sarana dan prasarana (baca : perpustakaan, laboratorium) apa adanya. Bahkan tanpa menempatkan pustakawan ataupun laboran di dalamnya. Walhasil guru menjadi korban untuk ditugaskan mengurusnya. Tidak sedikit kemudian muncul ”perpustakaan siluman”. Wujud fisik perpustakaan hadir saat akreditasi saja, setelah itu lenyap entah kemana. Termasuk pustakawan di dalamnya.
Begitu juga nasib laboratorium. Banyak sekolah belum mempunyai laboran yang fokus mengurus laboratorium. Laboratorium hanya digunakan saat praktek mata pelajaran. Jarang sekali laboratorium digunakan untuk kepentingan ilmiah yang sifatnya penelitian mandiri oleh sivitas akademika. Dan sekali lagi peran laboran cukup hanya digantikan oleh seorang guru mata pelajaran.
Pustakawan dan laboran hanyalah sebagian contoh tenaga kependidikan yang saat ini masih menerima nasibnya dengan tidak jelas dan terkesan ”terpinggirkan”. Selama ini keberadaan mereka sebenarnya ada, tetapi terkesan tidak ada. Kalau kasus seperti ini masih saja terjadi, apakah pantas dinilai bahwa pendidikan telah bermutu?
Kesimpulan
Kegiatan belajar-mengajar tanpa peran tenaga kependidikan akan mengalami gangguan. Karenanya tenaga kependidikan perlu ”pengakuan” dan penghargaan atas kinerjanya. Tenaga kependidikan – sebagaimana pendidik – juga perlu kejelasan hukum yang mengatur mereka. Tenaga kependidikan tidak akan berfungsi selama penghargaan tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan.
Jika kontroversi antara pendidik dan tenaga kependidikan tidak segera dituntaskan maka permasalahan pendidikan tidak akan terselesaikan. Bahkan akan menciptakan kesenjangan antara keduanya. Akhirnya menghambat percepatan peningkatan mutu pendidikan. Akankah?
Chakim Musthofa
Librarian Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan [LPMP] Provinsi Kalbar
Keterangan :
Artikel ini dimuat di harian Pontianak Pos, Selasa, 18 September 2007