Kami sangat menghargai Anda jika mengutip konten blog ini dengan menyebutkan sumbernya.

Kamis, 11 Juli 2013

Gembala dan Serigala Tidak Akan Pernah Akur


Informasi yang menghebohkan dunia pendidikan kembali mencuat. Berita kali ini adalah tentang materi yang tertulis dalam buku pelajaran Sekolah Dasar. Tulisan yang disorot adalah sebuah cerita pendek berjudul "Anak Gembala dan Induk Serigala".

Cerpen tersebut dimuat dalam buku Aku Senang Belajar Bahasa Indonesia untuk SD dan MI kelas 6. Buku yang disusun oleh Ade Khusnul dan M. Nur Arifin ini diterbitkan oleh CV Graphia Buana, penerbit buku yang beralamat di Jl. Tumenggung Wiradiredja, Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor.

Berita ini mencuat berawal dari laporan salah seorang orang tua siswa di SDN Gunung Gede. Kabar ini kemudian menjadi berita nasional. Banyak kalangan yang menyayangkan pemuatan cerpen tersebut menjadi salah satu materi ajar siswa SD.

Azwar, orang tua siswa kelas 6 SDN Gunung Gede mengaku kaget saat membaca cerpen dalam buku yang dibeli untuk anaknya. "Ada cerita yang sangat ganjil dan berbau porno dan vulgar dalam alur cerita di halaman 57 -60 buku itu," kata dia. (http://www.tempo.co/ edisi Rabu 10 Juli 2013).

Selain di SDN Gunung Gede, buku itu pun dijual sebagai buku pendamping bahan ajar Bahasa Indonesia di beberapa sekolah dasar di Kota Bogor. SDN Polisi 4, misalnya.

Orang tua yang terlanjur membeli buku tersebut berbondong-bondong mengembalikannya ke agen distributor buku. (http://metro.news.viva.co.id/ edisi Kamis, 11 Juli 2013)

Pihak Dinas Pendidikan Kota Bogor sudah menerima laporan tentang hal ini dari orang tua siswa. Dinas akan menyelidiki lebih lanjut dan meminta pihak penerbit CV Graphia Buana untuk meminta klarifikasi.

Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan Kota Bogor  Dra. Elok Tri Kusumaningsih, M.Pd mengatakan seharusnya sekolah terlebih dahulu berkonsultasi dengan Disdik jika akan menggunakan buku tambahan. "Untuk menentukan buku tersebut seharusnya sudah lulus uji materi dari tim sekolah, agar tidak menimbulkan keresahan dan memberikan pendidikan peserta didik," kata dia.

Penerbit CV Graphia Buana yang menerbitkan buku tersebut menyatakan "Masalah tulisan yang berbau mesum itu berkaitan dengan penulisnya, bukan penerbit," kata Humas CV Graphia Buana, Dede Syamsul Anam, Kamis 11 Juli 2013. Dede mengatakan, penulis buku juga sudah menyampaikan permohonan maafnya kepada penerbit. Dia meminta agar bukunya bisa ditarik dari peredaran.

Selain itu, kata dia, penulisnya yang bernama Ade Khusnul juga akan siap mengganti kesalahan yang telah di buat didalam buku itu. "Selama ini, buku yang sudah dicetak sebanyak 10 ribu eksemplar, yang sudah beredar 8 ribu. Namun, yang sudah ditarik empat ribu," ujarnya. (http://metro.news.viva.co.id/

Profesionalisme Penulis dan Editor


Sungguh sangat memprihatinkan mendapati berita tentang buku pelajaran yang dinilai berbau porno tersebut. Hal yang membuat kami prihatin bukan hanya terletak pada pemilihan materi buku, namun juga kami menyayangkan penulis yang tidak bisa memilah materi yang cocok untuk anak usia sekolah dasar. Di samping itu, peran penyunting/editor yang kurang baik menyebabkan tulisan tersebut lolos sensor.

Seorang penulis dituntut untuk menguasai materi yang hendak dia tuangkan dalam karya tulisnya. Dari segi materi, buku tersebut harus lolos seleksi Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud. Puskurbuk yang berhak menentukan layak atau tidaknya tulisan si penulis untuk diterbitkan menjadi buku sumber ajar siswa di sekolah dasar.

Selain itu, penulis harus mengerti kaidah ilmiah dalam membuat karya tulis. Dalam buku yang ditulisnya, penulis wajib menyertakan sumber tulisan yang ia kutip. Ketika memperhatikan materi dalam buku Aku Senang Belajar Bahasa Indonesia untuk SD dan MI kelas 6 terbitan Graphia Buana tersebut, membuat kami terhenyak. Bagaimana tidak, penulis sudah salah mencantumkan sumber kutipan tulisannya. Salah besar. Apalagi kalau tidak dicantumkan sumber kutipan.

Silahkan baca dalam tulisan cerpen "Anak Gembala dan Induk Serigala" di halaman 55, disana tertulis sumbernya Posted by AkmalBlog at 3:15 PM. Kami cari blog yang memuat tulisan tersebut, ternyata ada beberapa blog yang memuat cerpen tersebut. Namun penulis asli cerpen tersebut adalah Dedy Tri Riyadi. Dia menulis cerpen itu di blog pribadinya http://www.kumcer-dedy.blogspot.com/.

Disini nampak pula penulis buku itu tidak profesional. Tidak menguasai materi ajar dan tidak mengetahui etika atau kaidah penulisan karya ilmiah yang baik dan benar.

Pengakuan Penulis Cerpen

Dedy Tri Riyadi, penulis cerpen "Anak Gembala dan Induk Serigala" menegaskan bahwa cerpen yang ia unggah di blog pribadinya itu bukanlah cerita pornografi. Tapi mengenai kisah seorang perempuan korban perkosaan, yang kemudian hamil dan berjuang menghidupi anaknya. Ia menolak juga disebut menggunakan kata-kata vulgar dan porno dalam cerpen tersebut. "Pemerkosaan dan pelacuran itu hal yang faktual terjadi," ujarnya.

Hal yang menjadi masalah adalah cerpen tersebut dimuat dalam buku pelajaran SD. "Harusnya editor dan penyusun buku itu bisa melihat cerita ini tidak sesuai untuk anak kelas 6 SD," kata Dedy.

Pengawasan dan Sanksi yang Lemah

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, Kamis 11 Juli 2013 menginstruksikan agar buku pelajaran sekolah yang memuat cerita mesum ditarik dari peredaran. "Kalau terbukti keluar dari kaidah-kaidah pendidikan, ya harus segera ditarik," kata Nuh di Gedung DPR. Meski tidak layak dan melanggar kaidah,  pemerintah pusat tak bisa memberikan sanksi kepada penerbit buku pelajaran untuk kelas 6 SD itu. Penarikan buku kewenangan pemerintah daerah. "Silakan (beri sanksi) itu kan kabupaten kota," kata dia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengakui jika pemerintah belum mampu memberikan sanksi tegas kepada penerbit buku pelajaran yang nakal. Menurut Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud, Ramon Mohandas inilah yang menyebabkan penerbit nakal tak jera memasukan materi yang tak sesuai dengan pelajaran.

“Kami akui, hukuman buat penerbit nakal masih lemah,” kata Ramon ketika dihubungi Rabu, 10 Juli 2013. Pernyataan Ramon ini menanggapi keluhan beradarnya buku pelajaran bermuatan materi porno di mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk Kelas VI yang digunakan oleh sejumlah SDN di Kota Bogor.

Ramon menuturkan sudah melihat cerita yang dimaksud. Dia mengatakan buku tersebut bukan buku resmi yang diwajibkan melainkan buku pengayaan. Buku itu melewati proses penilaian layak atau tidak.

“Jadi penerbit langsung ke sekolah-sekolah terus mengiming-imingi sejumlah kompensasi,” ucap Ramon. Mestinya, ucap dia, para guru memperhatikan konten isi dulu sebelum sepakat untuk menggunakan.

Ramon mengatakan, ke depan perlu ada sanksi yang tegas untuk penerbit nakal agar menimbulkan efek jera. Menurut dia, DPR RI saat ini sedang menggodok Rancangan Undang Undang Perbukuan yang salah satu isinya tentang sanksi terhadap penerbit nakal.

Untuk Kurikulum Pendidikan 2013, Ramon menuturkan semua buku berasal dari pusat. Sekolah boleh menyediakan buku pengaya asal isinya lebih baik dibanding buku induk. “Buku induk itu hanya standar minimum,” ucap Ramon. Buku pengayaan itu harus melewati penilaian di dinas pendidikan setempat. (http://www.tempo.co/)

Sastra; Sebuah Pertimbangan

Sebelum memberikan penilaian tentang cerpen yang berjudul "Anak Gembala dan Induk Serigala", silahkan baca tulisan lengkapnya di blog asli sumber cerpen tersebut. Berikut kami tuliskan kembali karya Dedy Tri Riyadi tersebut.


Sunday, September 09, 2007

Anak Gembala dan Induk Serigala

Inilah nyanyian anak gembala; “Sungai-sungai memandikan diri begitu bayangan hutan menyebelah barat. Pada batu padas kupunggungkan lelah ternak dan mimpi yang tak pernah jenak. Rumput segar; hidup yang hingar bingar. Serupa lenguh yang kudengar sebagai tanda saatnya untuk mene-rabas belukar. Ayo kawan, kita kembali berjalan ke arah reruntuhan bulan. Sebab di sana kita tempatkan sebentuk rumah bagi tubuh yang mulai lungkrah.”
 
Sebenarnya, bagi dia, pagi adalah waktu yang paling menyenangkan. Pagi adalah saat pucuk rerumputan yang masih berbalut titik embun ditumpahi berkas-berkas cahaya oleh matahari. Ada pelangi-pelangi kecil di lantai hutan. Mungkin tak ada seorang pun yang tahu tentang itu. Dia menggiring ternaknya dengan hati-hati, bukan hanya karena dia takut ada salah satu atau beberapa dari mereka luput dari pengamatannya tetapi juga karena dia tidak ingin pelangi-pelangi kecil itu rusak sedemikian cepat.

Dia ingat nyanyian tentang pelangi. “Pelangi. Pelangi. Ciptaan Tuhan.” Sejak pertama kali mendengar lagu itu, dia selalu berharap setelah gerimis, di langit, muncul seberkas pelangi. Konon, pelangi adalah tangga bagi para bidadari yang ingin mandi di sebuah telaga sunyi. Ah, Ibu. Kenapa engkau cepat pergi? Dia hampir lupa wajah ibu yang melahirkannya, hingga dia berharap bisa mencari tahu seperti apa wajah para bidadari itu. Barangkali ada wajah yang mirip dengan ibunya di antara mereka. Wajah yang selama ini dikenang lewat cahaya bulan, kerlip bintang, atau wangi hutan.

Lihatlah langkahnya begitu riang, tetapi tetap tenang. Seakan tak ada beban yang terpanggul di pundak kecilnya. Bukit-bukit dilaluinya dengan langkah panjang, mengejar ternak yang berjalan tergesa liar. Dia tak sadar tubuh kecilnya timbul tenggelam dalam tatapan seekor induk serigala yang lapar.

Dia sudah menunggu sekian lama untuk mendapatkan daging segar untuk anak-anaknya. Sekarang ini hutan tinggallah bayang-bayang pepohonan jarang di tengah-tengah ladang dan rerumputan gersang. Sulit sekali mencari mangsa buruan seperti kelinci, tikus hutan, kancil, atau menjangan. Jika nampak satu saja dari mereka, dia harus mengalah kepada anak kecil yang membawa tombak dan obor di tangannya. Dia takut sekali dengan benda yang menyala-nyala itu. Dulu dia pernah terpaksa keluar dari lubang sarangnya karena kebakaran hutan yang hebat. Dia tahu sekali benda itu terlepas dari tangan anak itu, maka akan terjadi lagi satu kejadian kebakaran. Dia membenci api!

Untuk itulah dia menunggu pagi. Saat itu api di tangan anak itu dipadamkan. Dia bisa menyerang tanpa ketakutan akan ada kebakaran yang bisa mencelakakan nyawa anak-anaknya yang belum lancar berlari. Sebelum tenaganya habis, sebelum anak-anaknya terdengar menangis dia harus bisa membunuh anak itu. Demikianlah tekadnya.

Maka disibaknya rerimbunan belukar untuk tetap bisa mengamati ke arah mana anak gembala itu pergi. Sapi-sapi yang digembalanya dari tadi sudah gelisah, mungkin dia mencium bau tubuhnya. Bau tubuh sang pemangsa! Padahal sebenarnya dia sudah mencari arah agar tubuhnya tidak terpapar oleh angin yang mengarah kepada anak gembala dan kumpulan ternaknya. Tapi cuaca memang sudah banyak berubah. Angin kencang juga hujan bisa datang sertamerta. Atau seperti sekarang, panas berkepanjangan. Bau tubuhnya meruap di udara terbuka. Ah, perburuan ini nampaknya akan sia-sia.

Sebelum dia melangkah lebih dekat, tiba-tiba anak gembala itu kembali bernyanyi; “Siang ini tak ada pelangi, langit seperti kampung memedi, pokok-pokok dilukis dalam sunyi. Tatu hutan tatu aku!”
Induk serigala itu sekarang tidak peduli lagi. Yang betul-betul dipahaminya adalah rasa laparnya sendiri juga rasa lapar anak-anaknya membuat dia harus mendapatkan makanan. Dia semakin mendekat kepada anak gembala yang tengah bersandar di batang pohon.
+++
Seperti ini juga nyanyian seorang perempuan; “Sungai-sungai memandikan diri begitu bayangan hutan menyebelah barat. Pada batu padas kupunggungkan lelah ternak dan mimpi yang tak pernah jenak. Rumput segar; hidup yang hingar bingar. Serupa lenguh yang kudengar sebagai tanda saatnya untuk menerabas belukar. Ayo kawan, kita kembali berjalan ke arah reruntuhan bulan. Sebab di sana kita tempatkan sebentuk rumah bagi tubuh yang mulai lungkrah.

Perempuan itu masuk ke bilik kamar. Sekarang sudah senja. Waktunya bekerja. Dia sudah berusaha menguburkan keletihannya di pagi hari tadi. Hanya saja rasa letih itu seakan-akan sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Beban yang berat membawanya untuk masuk lebih dalam ke bilik kamar yang hanya ditutupi oleh kain. Bilik itu bagian belakang dari sebuah warung remang-remang di pinggiran kota. Tempat di mana dia sekarang membanting tulang demi hidupnya dan keluarganya di sebuah kampung. Di dalam bilik itu sudah menunggu seorang lelaki yang segera menyambutnya dengan sebuah pertanyaan.
 
“Dari mana asalmu?”

“Panyuren,” jawab perempuan, yang baru saja duduk di dalam kamar itu, singkat.

Gerakan perempuan itu terlihat masih kikuk. Benar seperti kata pemilik warung ini, dia ini pendatang baru! Jakunnya bergerak turun naik melihat kemolekan perempuan itu. Hanya saja dia masih penasaran dengan nama kampung asal yang tadi disebut.

“Panyuren. Agaknya saya pernah ke sana. Kampung itu terletak dekat dengan hutan lebat bukan?”

“Iya benar,” perempuan itu menjawab singkat dan terdengar ragu. Jangan-jangan lelaki di hadapannya pernah mengenal dirinya. Hal itu semakin menambah kekikukannya di depan lelaki itu. Sementara lelaki yang dikuatirkan mengenalnya itu rupanya asyik meneguk sejenis minuman beralkohol. Pada botol minuman itu, ada gambar seekor banteng yang tengah menanduk. Dia ingat pada orangtuanya yang punya dua ekor sapi. Ayahnya pernah bilang kalau nanti anak yang dilahirkannya sudah agak besar, akan dikenalkan dengan ternak dan hutan seperti kakeknya. Ah, rahasia. Kenapa harus begitu kelam?

Bertahun silam, seorang mandor penebangan kayu melihatnya sedang mandi di sebuah telaga. Akhirnya terjadilah peristiwa yang merenggut kegadisannya sekaligus menimbulkan tumbuhnya janin di perutnya. Dia tadinya tidak bisa terima. Begitu lahir, bayi itu ditinggalkannya dengan kedua orangtuanya sementara dia lari ke kota. Kini dia sadar bahwa dia harus berbuat sesuatu untuk menghidupi anak yang pernah dikandungnya. Walau bagaimanapun dia adalah darah dagingnya. Dia ibu dari anak itu. Dari tempat paling hina di dunia ini, warung remang-remang tempat dia menjajakan badan, dia selalu diingatkan pada hal itu. Apapun. Apapun harus ia lakukan demi kehidupannya dan anak itu.

“Kamu cantik sekali. Marilah dekat ke sini.”

Suara itu membuyarkan lamunannya. Pada awalnya dia tampak ragu untuk meladeni rayuan lelaki itu. Akan tetapi sebentar tadi, masa lalu yang kelam sudah menyeretnya pada sebuah kesadaran; dia ingin melupakan kepahitan hidupnya. Melupakan deritanya pada sosok lelaki yang menistakan dirinya, pada sosok jabang bayi yang meruak dari celah selangkangannya, pada kesadaran bahwa dia adalah perem-puan yang sewaktu-waktu mudah dihempas oleh jerat nafsu.

Kali ini, dia membulatkan tekad untuk berkuasa sepenuhnya pada daya tubuhnya. Hanya itu yang dia punya. Hanya itu. Maka…

“Bergairahlah lelakiku. Aku ingin sekali menyempurnakan keinginanmu.”

Lelaki itu tersenyum lebar. Dia mengulurkan segelas minuman pada perempuan itu yang segera disambut dan dituntaskan dalam satu tegukan. Mereka tenggelam dalam pelukan dan ciuman.

“Tunggu dulu. Aku ingat lesung pipit ini. Bagaimana bisa kau datang kemari?”

Dengan terpaksa, perempuan itu melepaskan erat pelukan, berjalan ke arah saklar untuk menyalakan lampu kamar. Dia ingin menegaskan wajah lelaki itu. Apakah memang dia mengenalnya?

“Tidak. Tidak. Aku tidak mengenalmu. Dan tidak juga ingin mengenangmu setelah pertemuan ini.” Begitu hatinya bergemuruh.

“Ya. Aku pun begitu. Tapi kau kukenali sebagai gadis yang berjalan menunduk ketika melewati kemah kami. Gadis yang cantiknya sering sekali Mandor Onih ceritakan. Gadis yang setiap malam kutangisi setelah kejadian itu.” Lelaki itu tiba-tiba mengisak. Tangannya mengapai seakan meminta perempuan itu mendekat dan memeluk dirinya. Dan ketika perempuan itu terengkuh olehnya, pada telinganya dia berbisik lirih.

“Gadis yang aku cinta.”
 
Ah, inikah cinta? Dia pun gemetar dalam pelukan lelaki itu. Seperti lampu di kamar yang berpijar, dia merasa terbakar sendirian.

“Kau punya anak?” Lelaki itu kembali bertanya.

Mengangguk lemah, dia memejamkan mata. Dua butir air mata segera meluncur di atas pipinya yang keputihan oleh pupur.

“Anak Mandor Onih?”

Dia mengangguk lagi. Kali ini dia melepaskan pelukan lelaki itu. Lelaki itu kaget. Apakah dia menolak cintanya? Dipandangnya lekat mata sembab perempuan itu. Mata itu sudah berubah menyala. Ada sesuatu yang akan terjadi.

“Kita jadi tidak? Aku dan anakku perlu makan bukan rayuan!”
+++

Senja itu, di sebuah lubang sarang, anak-anak serigala mengunyah rerumputan. Induknya belum juga pulang. Anak gembala yang lengan dan kakinya terluka karena gigitan serigala tertatih menggiring ternaknya ke kandang, dan perempuan yang adalah ibunya, di dalam kamar mengisak perlahan. Entah isak tangis senang hari ini dia mendapat uang dari langganan pertamanya, atau tangis kerinduan pada kampung halaman. Atau…
 
Jakarta, Agustus 2007.
sumber: http://www.kumcer-dedy.blogspot.com/

Kehendak untuk Menilai

Setelah membaca secara utuh cerita pendek di atas, sejujurnya kami acungi jempol untuk penulisnya. Sebuah pemaparan yang cukup baik. Cerita yang mengalir dengan rima yang lumayan indah. Tema tulisan yang disampaikan pun menarik. Last but not least, sebuah karya sastra tentu memiliki pangsa pasar tersendiri. Tidak bisa dikatakan semua pembaca dapat memahami sepenuhnya maksud si penulis. Hanya pembaca yang memiliki kepekaan nurani dan ketajaman sastrawi yang dapat menyelami alur kalimat tulisan tersebut.

Memang disayangkan, cerpen ini dimuat di sebuah buku pelajaran untuk siswa kelas 6 sekolah dasar.

Sehingga, di akhir tulisan ini kami hanya bisa menyimpulkan bahwa memang penggembala tidak akan pernah akur dengan serigala. (taufique_sudjana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda!